Puisi lama berbeda dengan puisi baru. Hal itu nyata kepada kita sekali lihat, sebab perbedaannya itu bukan sedikit: tentang pilihan kata tentang susunan kalimat, tentang jalan irama, tentang pikiran dan perasaan yang terjelma di dalamnya, pendeknya tentang isi dan bentuknya. Perbedaan antara keduanya yang sangat besarnya itu, hanya dapat kita insafkan apabila keduanya itu kita bandingkan berhubungan dengan kebudayaan yang mengelilinginya masing-masing tumbuh. Sebabnya tiap-tiap buah puisi, ialah hasil jiwa penyair-penyair dan seperti sifat jiwa seorang anak sebagian besar ditentukan oleh sifat orang tuanya dan sifat pergaulan sekelilingnya (dalam arti yang seluas-luasnya), demikian pulalah jiwa penyair dibentuk oleh masyarakat di tempat dan di zamannya.

    Puisi lama ialah sebagian dari pada kebudayaan lama yang dipancarkan oleh masyarakat lama. Jadi kalau kita hendak mengenali puisi lama itu, maka pertama sekali mestilah kita mengenali kebudayaan dan masyarakat lama itu.

    Maka jika kita bandingkan masyarakat lama itu dengan masyarakat modern, dengan masyarakat kita zaman sekarang (terutama di golongan mereka yang sudah bersekolah dan mereka yang diam di kota-kota yang besar yang sangat banyak pergaulan dengan bangsa asing), akan nampaklah kepada kita beberapa perbedaan.

    Pertama masyarakat yang lama itu suatu persatuan yang lebih rapat, lebih padu, tidaklah pecah-belah, berderai-derai seperti masyarakat modern. Antara anggota masyarakat yang seorang dengan anggota masyarakat yang lain banyak tali-tali mengikat. Mereka sama-sama mendiami sesuatu daerah yang boleh dikatakan tertutup; peraulan dengan bangsa asing tidak seberapa. Sekalian keperluan, baik tentang jasmani maupun tentang rohani dapat diperoleh dalam lingkungan masyarakat itu sendiri. Dalam pergaulan yang kecil itu sekalian orang kenal-mengenali malahan sering pula mereka sekaliannya sedarah, yaitu satu keturunannya. Tiap-tiap orang merasa dirinya sebagian dari golongan besar: tentang sikapnya dan perbuatannya, tentang susunan pikiran dan perasaannya, tentang kepercayaannya dan cita-citanya ia tiada berdiri sendiri, ia sesuai atau menyesuaikan dirinya kepada orang banyak. Boleh jadi sebab keyakinannya benar sesuai dengan keyakinan dalam golongannya, tetapi boleh jadi sebab ia tidak pernah melihat dan memikirkan yang lain dan boleh jadi juga sebab ia merasa dirinya terikat kepada orang golongannya dan ia tiada berani memutuskan ikatan itu: takut menjadi buah mulut, takut disisihkan orang. Dalam penghidupan setiap hari dalam lingkungan yang kecil itu yang seseorang bergantung kepada yang lain: mereka tolong-menolong mendirikan rumah, mengerjakan sawah, mengadakan peralatan, waktu sengang dan waktu sedih, dalam pekerjaan sehari-hari dan dalam perhubungan dengan tenaga-tenaga yang gaib dan sakti yang memimpin dan menguasai tentang manusia. Banyak pekerjaan dan urusan yang dalam masyarakat modern pekerjaan dan urusan manusia seorang-seorang, dalam masyarakat lama pekerjaan dan urusan bersama. Contoh yang sering ditemukan orang, ialah perkawinan. Perkawinan ialah suatu kejadian yang penting dalam masyarakat yang demikian, yang mengenai sekalian anggotanya, oleh karena kepadanya bergantung lanjutnya. Jatuh atau naiknya masyarakat itu. Demikianlah perkawinan itu dijaga dan disertai oleh masyarakat, supaya berlaku sebaik-baiknya, menurut jalan dan aturan yang sudah ditetapkan turun-temurun. Berbeda benar dengan dalam masyarakat modern, dimana perkawinan itu menjadi soal perseorangan, soal si bujang dan si gadis yang bersangkutan semata-mata. Dalam pergaulan setiap hari anggota-anggota masyarakat sesamanya sangat bermurah hati, pandang-memandang, tenggang-menenggang. Yang seorang tidak berhitung benar kepada yang lain. Seiring kepunyaan yang seorang itu kepunyaan yang lain pula. “Awak sama awak” ialah semboyan yang sering terdengar.

    Tentulah dalam masyarakat yang padu bersatu serupa itu ada tali pengingat, ada aturan yang kukuh, yang mengatur segala perbuatan dan pekerjaan anggota-anggotanya, yang menentukan perhubungan antara yang seorang dengan yang lain. Maka aturan yang mengikat sekalian anggota masyarakat itu dalam suatu ikatan dan kumpulan yang kukuh, ialah adat, yang turun-temurun dari nenek moyang bersama, yang dipegang dan dipertahankan oleh kepala bersama, oleh orang-orang tua, malahan oleh sekalian anggota masyarakat. Kata “adat” itu jauh lebih luas artinya dari sekarang, di dalamnya terlingkung agama, seni, hukum, ekonomi dan lain-lain, pendeknya ia mengatur seluruh hidup dalam masyarakat itu. Siapa yang berani melanggarnya ia akan diejekan orang, malahan kadang-kadang sampai dibuang dari masyarakat. Perkataan “tiada tau adat” dan “melanggar adat” jauh lebih keras artinya dan dalam isinya dari di zaman kita sekarang. Sebabnya adat itu bukan semata-mata mengatur perbuatan manusia dan perhubungan antara manusia dalam masyarakat, adat itu ialah pula suatu pusaka yang suci yang dilindungi dan dikuasai oleh arwah-arwah nenek moyang dan tenaga-tenaga yang gaib dan sakti, yang berkyasa atas sekalian manusia. Seluruh nasib masyarakat dan anggota-anggotanya bergantung kepada kepada diturut atau tidaknya adat itu. Dalam ikatan adat yang turun temurun ke zaman-zaman itu teranglah kepada kita, bahwa masyarakat itu sangat lambat berubah atau seperti biasa dikatakan orang zaman sekarang: statis . sekalian orang, malahan seluruh masyarakat memandang kebelakang, kemasa yang lampau, kepada nenek moyang yang pertama sekali bertempat di tempat itu dan mendirikan negeri dengan adatnya “yang tidak lekang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan” yang tidak berubah, tidak terusakan oleh waktu. Dalam anggapan orang perkataan “tua” hampir sama artinya dengan asli, mulia, suci, pandai, cerdik, tahu aturan, berilmu.

    Baiklah saya katakana terus terang, bahwa lukisan saya tentang masyarakat lama ini sengaja saya lebih-lebihkan, yaitu supaya kita mendapat rangka umum yang helas dari padanya, yang dapat kita pakai untuk mengeri kebudayaan (dalam hal ini teristimewa : puisi) yang dilahirkannya. Sebabnya sesungguhnya tidak sekali-kali termakan oleh akal, bahwa dalam berabad-abad itu masyarakat dan kebudayaan lama itu tidak pernah berubah-ubah, tiada pernah mendapat pengaruh dari luar. Ingatan sajalah akan pengaruh orang Hindu dengan agama Hindu, akan pengaruh orang Arab dengan agama Islam. Sengaja pula tidak saya sebut perbedaan yang terdapat antara suatu tempat dengan tempat yang lain dalam lingkungan daerah Asia Selatan yang luas ini antara penduduk tempat yang jauh terpencil di tengah pulau dengan penduduk Bandar di pinggir laut di muara sungai, yang menjadi “pusat jala pumpunan ikan”, yaitu tempat berkumpul dan pengaruh-pengaruhi berbagai-bagai bangsa. Dan suatu pasal yang penting pula, dalam masyarakat lama itupun tentu ada orang, yang melepaskan dirinya dari ikatan kumpulan persatuan itu yang berpikir dan berbuat menurut kata hatinya sendiri, dengan tiada memedulikan pikiran yang terlazimi, malahan yang dengan sengaja menghadapi, melawan perasaan, pikiran dan anggapan umum. Ambil contoh Hamzah Fansuri yang pergi mengembara ke mana-mana mendalamkan ilmunya dan tiada leka-leka mencari tuhannya menurut keyakinannya sendiri, sehingga sultan Aceh memerintahkan membakar kitab-kitab yang dikarangnya.

    Tetapi dengan mengingat sekaliannya ini, malahan dengan mengingat, bahwa di dunia ini tiada ada dua orang manusia, tidak ada dua buah tempat, tidak ada dua hari usahakan dua tahun, yang sama benar, pemandangan tentang masyarakat lama seperti saya lukiskan di atas ini, masih dapat juga dipakai sebagai rangka umum untuk mengerti beberapa pasal yang penting dari pada puisi lama, terutama jika dibandingkan dengan puisi baru. Dalam puisi lama, itupun terang kelihatan kepada kita persatuan masyarakat itu, persatuan perasaam, pikiran dan anggapan orang, terang kelihatan kepada kita kekeukuhan adat, terang kelihatan kepada kita, bahwa tiap-tiap penyair itu tiada mencari bentuk dan isi sendiri, tetapi melihat ke belakang, melihat ke contoh-contoh yang sudah diberikan orang kepadanya. Seperti rumah orang dan pakaian orang dalam masyarakat lama itu hamper serupa sekaliannya, demikian pulalah antara puisi hasil seseorang dengan puisi hasil orang yang lain, amat banyak persamaannya. Ambil contoh pantun. Kata-kata, kalimat, irama, perasaan dan pikiran yang dijelmakan pantun yang lain. Seperti segala sesuatu dalam masyarakat itu mempunyai bentuk dan semangat yang tertentu, Siapa sekalipun antara anggota masyarakat itu yang membuat pantun, antara buah tangannya dengan pantun-pantun yang lain, tiada berapa besar bedanya. Berabad-abad orang seolah-olah tiada merasa perlu mengubah bentuk pantun yang sudah turun-temurun itu, boleh jadi juga oran takut ditertawakan berbuat lain dari orang lain. Malahan kebanyakan pantun tiada dapat diketahui siapa yang membuatnya. Orang seolah-olah tiada merasa perlu menghubungkan namanya kepada pantun yang dibuatnya, seperti dalam hal yang lainpun orang dalam masyarakat lama itu kurang mengemukakan hal dan kepunyaan sendiri. Demikianlah pantun tumbul dalam masyarakat, tiada diketahui di mana, apa bila dan pada siapa asal-mulanya, pindah dari mulut yang seorang ke mulut yang lain.

    Sekalian anggota masyarakat berhak atasnya dan pantun dipakainya apa bila ia hendak mengucapkan pikiran dan perasaannya yang serupa dengan isi pantun itu,

    Apa yang dikatakan di sini tentang pantun, demikian juga halnya dengan ikatan puisis yang lain: syair, gurindam dan bahasa berirama. Dalam berabad-abad tubuh ikatan puisi itum dengan pilihan katanya, dengan susunan kalimatnya dan dengan jalan iramanya dan dengan semangatnya masing-masing. Si penyair yang hendak mencurahkan perasaan atau pikirannya hanya tinggal memakai saja ikatan puisi, serta kata-kata dan cara menyusun kalimat, malahan sampai-sampai kepada isinya yang sudah turun-temurun tersedia.
Akhirnya satu pasal pula yang menyebabkan, maka ikatan puisi lama itu jarang atau amat lambat berubah-ubah, ialah oleh karena dalam masyarakat lama itu sekalian cabang kebudayaannya bersatu, bertali-tali, berseluk-beluk, tidak berpisah-pisah seperti dalam masyarakat modern. Kebanyakan puisi dinyanyikan, sedangkan nyanyi rapat pula hubungannya dengan tari. Dan puisi, nyanyi dan tari sangat penting kedudukannya dalam agama, dalam kepercayaan kepada dunia yang gaib dan sakti. Siapa yang tahu, bahwa segala cabang kebudayaan lama itu diresapi oleh kepercayaan kepada dunia yang gaib dan sakti itu, tiadalah akan heran lagi, apa bila ia bersua dengan puisi dalam ekonomi, dalam hukum dan sebagainnya, Dan kalau kita ingatkan, bahwa suatu mantera (biasanya mempunyai ikatan puisi) yang diucapkan tidak dengan semestinyam kurang katanya, salah lagunya dan sebagainya, boleh hilang kekuatannya, maka insaflah kita, apa sebabnya puisi lama itu lebih terikat kepada bentuk dari pada puisi modern yang semata-mata bergantung kepada kesukaan dan kemauan si penyair sendiri-sendiri. Dan inilah sebabnya, maka dalam bunga rampai ini puisi lama itu saya susun menurun bentuknya, yaitu menurut jenis-jenis ikatan puisi : pantun, syair, gurindam, bahasa berirama dan lain-lain.

Posting Komentar Blogger Disqus

Jika ada pertanyaan silahkan tinggalkan komentar.

 
Top